
Suatu hari di sudut kamar, angin berhembus membisik;
“ada apa?” “tak apa” jawabku pilu. “ceritakan padaku! Atau tubuhmu akan sia-sia karena
pikiranmu masih tertinggal di masa lalu.”
Decitan jendela yang tersentuh cipratan hujan membantu angan
menjauh dari ruang kenyataan.
Ketika aku mulai menyadari apa yang aku kejar sudah
terlampau jauh, kau berhenti di hadapku, melihatku. Mata penuh harap itu
menatap iba namun penuh pesona. Meski tak semempesona mawar di pagi hari
bersama embun yang menyempurnakan mahkotanya. Kau tersenyum, pipi penuh bekas
usapan air mata itu mulai memerah. Walau tak semerah matamu yang selalu ‘Si
Dia’ buat basah. Lalu meraih tanganku yang penuh luka, “ada yang lebih indah
dari ini,” katamu.
Dari apa yang kulihat, terlihat jelas, kesedihan raut
wajahmu yang masih membekas. Bekas telapakmu yang terasa asing, seperti bekas
tangan yang menggenggam erat, namun terlaru erat hingga hanya mampu bertahan
sesaat. “aku juga baru kehilangan” katamu.
Kau mengantarku pada suatu tempat di sudut hati. Menutup
mataku sesaat lalu membukanya tepat di reruntuhan sebagian hati kita yang telah
hancur. “ayo kita susun ini kembali” katamu tersenyum manis. Seketika itu kau ambil
sebagian hatiku yang satunya dari tempat semestinya. Kita bersama, menyusun
kembali serpihan yang ada. Yang tanpa kita sadari telah menyatukannya. Menjadi sepotong
hati yang utuh. Hatimu, hatiku, Kita.
Ada sebuah teguran badai menghampiri waktu yang sedang
berjalan. Memisahkan kedua hati yang sedang beriringan. Kita, tak mampu lagi
bertahan.
Kita datang dengan hati yang sama-sama telah patah, lalu
mengapa semua tak dapat terarah?
Kita adalah dua hati yang telah hancur, yang
mencoba berjalan dengan rasa yang teratur. Kita pernah saling memperjuangkan,
namun mengapa teguran badai mampu menghancurkan semua angan?
Mengapa kita tak
mencoba lebih kuat? dan beri cinta ini sebuah keimanan yang lebih dahsyat.
Kita sama-sama memiliki masa lalu yang tak mudah, lalu di mananya
yang salah?
Mengapa hubungan dari hati yang sama-sama lemah justru
menjadikan cinta yang lebih lemah?
Mengapa tak menjadi akar keyakinan yang
kuat? yang mampu menopang badai egois agar cinta ini bisa selamat.
Kita sama-sama mendo’akan, saling bercerita pada Tuhan. Lalu
mengapa kita justru mengelak saat do’a kita hampir terkabul?
Kita sama-sama mengarungi semuanya, lalu mengapa ketika di
persimpangan jalan justru jalan yang kita pilih berbeda?
Dan kita pergi dengan
mata yang sama-sama melirik. Tetapi kenapa kita sama-sama lupa jalan untuk pulang.
Bahkan tak saling mencoba pulang.
Aku berharap tidak ada tiada pada kita. Jika kita sudah
tiada, maka kita hanya akan saling tersiksa nyeri oleh kenangan yang diada-ada.
Aku tak akan rela kelelahan merindukanmu.
Angin itu bertanya kembali;
“merindukan siapa?”
“dia….” jawabku tegas.
Lalu satu hentakan guntur menusuk sampai ke hulu seraya
kurenungi luka “….yang pernah aku perjuangkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar